KARAWANG,— Sebuah foto resmi kegiatan Pemerintah Kabupaten Karawang menampilkan gelaran “Istighosah Sughro dan Kick Off "40 Hari Intensif Tahajud untuk Capaian PAD dalam APBD 2026.” Acara religius itu dijadikan pembuka langkah pencapaian pendapatan asli daerah (PAD).
Kegiatan yang kemudian memicu pertanyaan publik tentang arah penyelesaian persoalan fiskal AapBD 2026 Pemkab Karawang. Wahyudin dari Divisi Advokasi Kebijakan Publik LBH Cakra Indonesia menilai acara tersebut justru mengirimkan sinyal bahwa birokrasi sedang mencari jawaban di ruang simbolik.
“Ini bukan soal imannya,” ujar Wahyudin. “Yang jadi persoalan adalah ketika doa dijadikan substitusi atas kerja birokrasi. Seolah masalah fiskal bisa ditutup dengan ritual, bukan reformasi kebijakan," sindirnya.
Karawang dikenal sebagai kawasan industri terbesar di Jawa Barat sekaligus lumbung pangan strategis. Dengan potensi demikian besar, publik berharap langkah pemerintah daerah solid berbasis data dan strategi.
Namun menurut Wahyudin, gejala yang muncul justru kebiasaan lama, ketika kinerja fiskal melemah, acara seremonial dipilih sebagai panggung legitimasi. “Ada kesan pemerintah ingin memberi citra kesalehan, tapi menghindari keberanian politik untuk menertibkan praktik rente,” katanya.
Ia menyebut berbagai persoalan struktural yang selama ini tak terselesaikan. Kebocoran PAD, BUMD yang lebih sering menjadi beban daripada menambah pendapatan, perizinan yang lambat dan berbelit, investasi yang tidak tepat arah, UMKM dan petani yang makin terpinggirkan, serta praktik pungli yang masih subur.
“Semua orang sudah tahu masalahnya. Tapi apakah ada keberanian untuk membuka datanya dan membenahinya. Itu yang tidak terlihat,. Selain doa, lamgkah kongkrit juga harus dilakukan,” tegasnya.
Menurutnya, pemerintah daerah seakan menjadikan ruang religius sebagai pelindung dari kegagalan tata kelola. “Karawang tidak kekurangan kegiatan keagamaan. Yang kurang itu transparansi dan reformasi institusi,” ujar Wahyudin. “Kalau birokrasi terus mengandalkan kegiatan simbolik, hasilnya ya tetap sama: PAD bocor, layanan publik buruk, dan masyarakat hanya jadi objek pungutan," katanya.
Ia menegaskan bahwa publik Karawang berhak mendapatkan pemerintahan yang bekerja, bukan hanya menggelar seremoni. “Doa itu penting, tapi kebijakan butuh strategi. Jangan sampai keduanya dicampur seolah satu bisa menggantikan yang lain,” ujarnya menutup. (Teguh Purwahandaka)

