KARAWANG,- Kasus PT. Vanesa Sukma Mandiri (VSM) membuka bab baru dalam perdebatan hukum pajak di daerah. Di satu sisi, Undang-Undang Minerba menegaskan soal legalitas tambang, di sisi lain, UU HKPD memberi ruang bagi pemda untuk menarik pajak tanpa membedakan asal material. Dua regulasi ini berjalan seperti rel yang tak pernah bertemu.
Menurut praktisi hukum Karawang, Dadi Mulyadi S.H., dualisme hukum inilah yang menjadi akar dari kebingungan pemerintah daerah. “UU Minerba fokus pada aspek perizinan dan operasi pertambangan, sedangkan UU HKPD bicara soal hubungan keuangan pusat dan daerah. Keduanya punya muatan politik berbeda,” jelasnya.
Masalah muncul ketika pemerintah daerah menjadikan UU HKPD sebagai dasar untuk memungut pajak dari kegiatan non-tambang seperti cut and fill di kawasan industri. Padahal, menurut UU Minerba, kegiatan tersebut tidak termasuk pertambangan dan tidak bisa dipajaki sebagai MBLB.
“Ini seperti memaksa sepeda untuk berjalan di rel kereta api,” kata Dadi berumpama. Ia menegaskan perlunya langkah harmonisasi. Pemerintah daerah harus segera menerbitkan keputusan bupati yang menjelaskan secara spesifik klasifikasi tanah urug, mulai dari boncos, super, hingga semu, beserta tarifnya.
“Tanpa kejelasan hukum, semua pihak akan terus menafsirkan sesuai kepentingannya. Akibatnya, keadilan dan kepastian hukum menjadi korban,” ujarnya.
Dalam pandangan Dadi, jalan keluar dari polemik ini bukan saling menyalahkan, tetapi duduk bersama. “Libatkan masyarakat, akademisi, dan pelaku usaha. Karena hukum tanpa partisipasi publik hanya akan jadi alat kekuasaan, bukan pelindung keadilan,” tutupnya. (Teguh Purwahandaka)
