Penulis : Ema, S.I.Kom., M.SI., Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang & Wakil Ketua FORKAPI Pusat (Federasi Peneliti, Pengajar, dan Profesional Komunikasi Pembangunan) dan juga Pengamat Komunikasi Kebijakan & Media.
KARAWANG,- Pagi itu, di ruang kerja kecil yang menghadap halaman kampus, seorang dosen menatap layar komputer lebih lama dari biasanya. Di satu tab, laman jurnal internasional menampilkan invoice biaya publikasi yang setara puluhan juta rupiah; di tab lain, pengumuman insentif kampus yang kini dibatasi hanya untuk satu publikasi per tahun. Angka-angka di layar tak sekadar saldo dan tarif; ia menjelma jeda panjang di antara idealisme dan realitas, antara semangat meneliti dan kebijakan yang menyempit.
Di Unsika, pergeseran aturan insentif publikasi melalui Peraturan Rektor terbaru terasa seperti mengganti mesin di tengah laju kendaraan, mendadak kurang komunikasi, dan menyisakan banyak pertanyaan. Revisi yang membatasi pengajuan pada satu artikel per tahun mungkin dimaksudkan untuk menertibkan anggaran. Namun di lapangan, ia justru menekan ruang gerak akademisi yang selama ini menopang reputasi kampus lewat riset dan publikasi.
Bagi banyak dosen, biaya yang harus mereka tanggung, dari pengumpulan data, layanan penyuntingan, hingga article processing charge sering melampaui insentif yang diterima. Tak sedikit yang membayar hingga belasan hingga puluhan juta rupiah untuk satu artikel open access. Ketika pintu insentif dipersempit, pesan yang terbaca bukan disiplin, melainkan pengabaian terhadap biaya nyata produksi pengetahuan.
Kita paham, kampus bukan lembaga tanpa batas. Ada pagu, ada prioritas, ada keterbatasan. Namun, kebijakan yang baik berdiri di atas dua kaki, keadilan bagi pelaksana (dosen) dan akuntabilitas bagi publik. Pembatasan berbasis kuota “satu per tahun” menimbulkan distorsi, peneliti produktif terdorong menunda publikasi, memecah naskah, atau memilih jurnal yang kurang bereputasi demi menyesuaikan diri dengan aturan.
Kualitas menjadi korban pertama, semangat menjadi korban berikutnya. Pada akhirnya, yang merosot bukan sekadar jumlah artikel, melainkan kepercayaan, aset paling mahal dalam tata kelola kampus.
Lebih dari soal angka, ini adalah perkara sense of fairness. Insentif bukan hadiah, ia adalah instrumen kebijakan untuk mengakui jerih payah intelektual dan mendorong daya saing. Di universitas yang masih bertumbuh seperti Unsika, insentif publikasi adalah bahan bakar yang menggerakkan ekosistem, mendorong kolaborasi, memperluas jejaring, menarik hibah, dan mendewasakan kultur riset. Ketika bahan bakar itu dikurangi tanpa desain yang sensitif terhadap mutu dan biaya riil, mesin pun tersendat.
Transparansi menjadi kata kunci berikutnya. Karena dana insentif bersumber dari anggaran publik, publik berhak tahu siapa menerima apa, atas dasar apa, dan kapan prosesnya tuntas. Portal yang menampilkan kuota tahunan, bobot kualitas outlet, posisi penulis, hingga waktu layanan (SLA) verifikasi dan pencairan bukan kemewahan, itu syarat minimum untuk menjaga integritas. Ketika kriteria terang dan proses sederhana, rumor kehilangan panggung, dan kepercayaan punya tempat pulang.
Pada saat yang sama, kita tidak menutup mata terhadap beban keuangan universitas. Karena itu, akal sehat kebijakan mengajarkan, jangan membatasi karya, batasi belanja. Alih-alih kuota “satu artikel”, lebih adil jika kampus menetapkan envelope insentif tahunan per dosen. Plafon ini bisa dibelanjakan untuk satu atau beberapa luaran, sepanjang memenuhi standar mutu yang disepakati.
Dengan demikian, peneliti produktif tidak dihukum, dan disiplin fiskal tetap terjaga. Skema bertingkat berbasis reputasi outlet, misalnya jurnal Q1/Q2, prosiding bereputasi, buku ber-ISBN terverifikasi, memberi sinyal jelas bahwa kampus berpihak pada kualitas. Pemisahan antara penggantian biaya riil (APC, proofreading, data) dan honor kinerja ilmiah juga membuat audit lebih jernih dan adil.
Kebijakan yang menyentuh mutu tidak bisa berdiri sendirian. Universitas dapat menegosiasikan potongan APC dengan penerbit, membuka klinik metodologi dan penulisan untuk menurunkan cost of failure, serta menyiapkan layanan penerjemahan dan penyuntingan internal berbasis standar ilmiah. Setiap rupiah yang dihemat di hulu akan memperluas ruang insentif di hilir. Hasil akhirnya bukan saja lebih banyak artikel, melainkan lebih baik kualitasnya, dan lebih kuat jejak pengaruhnya bagi masyarakat.
Dalam konteks nasional, arah kebijakan pemerintah mendorong riset dan inovasi tak semestinya dipadamkan oleh administrasi yang kaku di tingkat kampus. Jika pusat menyalakan obor produktivitas, universitas seharusnya menambah sumbu, bukan meneteskan air. Kebijakan kampus adalah terjemahan operasional dari cita-cita besar negara, ia tidak boleh mengerdilkan ruhnya.
Saya percaya Unsika mampu memperbaiki langkahnya. Yang dibutuhkan bukan pembelaan diri, melainkan keberanian membuka data dan kemauan duduk bersama. Libatkan Senat, LPPM, perwakilan fakultas, dan asosiasi profesi untuk meninjau ulang pasal-pasal krusial.
Tetapkan masa transisi yang manusiawi agar tidak ada pihak yang dirugikan oleh perubahan mendadak. Publikasikan draf, tampung masukan, sahkan aturan yang disepakati bersama. Ukur dampaknya setiap semester bila indikator memburuk, revisi lagi. Kebijakan bukan prasasti, ia harus hidup, diuji, dan disempurnakan.
Pada akhirnya, universitas dinilai bukan dari seberapa ketat ia menghemat, melainkan seberapa cerdas ia berinvestasi pada pengetahuannya sendiri. Insentif publikasi yang adil, transparan, dan berpihak pada mutu adalah investasi strategis, bukan beban. Di balik setiap artikel ilmiah ada malam-malam panjang, tabungan yang tergerus, dan harapan agar kampus berdiri tegak di antara universitas lain. Memberi mereka ruang dan dukungan bukan kemurahan hati, itu kewajiban moral dan konstitusional lembaga pendidikan.
Di ruang kerja yang sama, tab yang terbuka di layar seharusnya memperlihatkan hal yang berbeda, bukan dilema antara biaya dan insentif, melainkan workflow yang rapi, kriteria yang jelas, dan proses yang cepat. Dari sana, reputasi Unsika tumbuh bukan sebagai slogan, melainkan sebagai buah dari kerja ilmiah yang dihargai layak oleh institusinya sendiri. Sebab, ketika pengetahuan diberi tempat yang adil, kampus tidak sekadar menjalankan administrasi, ia sedang membangun peradaban. ***
