KARAWANG,– Sebuah fakta menarik terungkap dalam sidang lanjutan perkara kredit macet dan dugaan penggelapan dengan penggugat Adira Finance Cabang Cikarang dan tergugat Neni Nuraeni. Sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Karawang itu sempat menyeret Neni ke Rutan Perempuan Telukjambe, dan membuat anaknya kehilangan ASI.
Dalam persidangan siang itu, kuasa hukum Neni, Syarif Hidayat, S.H., menyoroti keabsahan akta fidusia yang diajukan sebagai alat bukti oleh pihak penggugat.
“Ada kejanggalan dalam penerbitan akta fidusia antara Adira Finance Cabang Cikarang dan klien kami, Neni Nuraeni. Dokumen hukum yang seharusnya menjadi dasar hubungan kreditur dan debitur ini kami nilai cacat hukum,” ujar Syarif.
Menurutnya, akta fidusia atas objek kredit berupa mobil Xenia warna putih tahun 2014 itu ternyata dibuat oleh seorang notaris yang berkedudukan di Palembang, Sumatra Selatan. Padahal, baik pihak Adira maupun Neni berdomisili di Jawa Barat, Adira di Cikarang dan Neni di Karawang.
“Ini jelas bertentangan dengan ketentuan mengenai wilayah kerja notaris sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris. Seorang notaris tidak dapat begitu saja membuat akta untuk pihak yang berada di luar daerah kedudukannya,” tegasnya.
Persoalan tidak berhenti di sana. Berdasarkan salinan akta yang diterima pihak kuasa hukum, akta fidusia tersebut hanya ditandatangani oleh pihak Adira, sementara Neni Nuraeni memberikan kuasa kepada Adira untuk menandatangani atas namanya. Padahal, dalam kalimat pembuka setiap akta notaris ditegaskan bahwa kedua belah pihak telah menghadap langsung di hadapan notaris.
“Faktanya, yang menghadap dan menandatangani hanya pihak Adira. Sementara klien kami justru memberikan surat kuasa kepada pihak pembiayaan itu sendiri. Ini menimbulkan pertanyaan serius soal keabsahan akta tersebut,” lanjut Syarif.
Ia menilai, konstruksi hukum seperti itu dapat menggugurkan nilai autentik akta fidusia, sebab kehadiran para pihak di hadapan notaris merupakan unsur penting dalam pembentukan akta autentik.
Meski tampak sebagai persoalan administratif, Syarif menilai isu ini sejatinya menyentuh fondasi integritas sistem pembiayaan. Jika akta fidusia dibuat tanpa memenuhi syarat formal dan di luar wilayah hukum notaris, maka risiko batal demi hukum sangat mungkin terjadi.
Fakta yang terungkap dalam persidangan ini menjadi pengingat bagi para debitur dan kreditur bahwa di balik setiap transaksi pembiayaan, terdapat tanggung jawab etik dan hukum yang tidak bisa diabaikan. Sebab, tanda tangan dalam akta bukan sekadar formalitas, melainkan perwujudan kesepakatan yang harus berdiri di atas dasar hukum yang sah.
(Teguh Purwahandaka)
