KARAWANG,– Mungkin Anda serng melihatnya, di warung kopi, di pinggir sawah, terminal, hingga pos ronda dan pusat keramaian, asap rokok masih jadi pemandangan biasa di Karawang. Tak sekadar kebiasaan, merokok bagi sebagian warga dianggap bagian dari gaya hidup dan sarana melepas penat setelah seharian bekerja di ladang atau di pabrik.

Ternyata di balik kepulan asap itu, data baru dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat justru mengungkap fakta mencengangkan, Karawang termasuk dalam lima besar daerah dengan konsumsi rokok tertinggi di Jawa Barat.
Berdasarkan data BPS tahun 2024, rata-rata perokok di Kabupaten Karawang menghabiskan 89,45 batang rokok per pekan, atau sekitar 12–13 batang per hari. Angka ini menempatkan Karawang di posisi ketiga setelah Kabupaten Indramayu (95,32 batang) dan Subang (91,89 batang).

Kepala BPS Jawa Barat, Darwis Sitorus, mengatakan tingginya konsumsi rokok di wilayah pantai utara (Pantura) seperti Karawang, Subang, dan Indramayu, menunjukkan masih kuatnya budaya merokok di masyarakat pesisir dan pedesaan.
“Di banyak wilayah Pantura, merokok bukan hanya soal kebiasaan, tapi sudah menjadi bagian dari aktivitas sosial. Di sawah, di tambak, atau di bengkel, rokok sering dianggap sebagai teman bekerja dan simbol keakraban,” ujar Darwis di Bandung, Selasa (28/10/2025).

Menurutnya, dominasi wilayah Pantura dalam konsumsi rokok erat kaitannya dengan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Banyak warga bekerja di sektor informal seperti buruh tani, nelayan, atau pekerja harian yang menjadikan rokok sebagai pelepas lelah.

Sementara itu, secara rata-rata di Jawa Barat, perokok menghisap 76,11 batang per minggu, atau sekitar 10–11 batang per hari. Artinya, warga Karawang berada jauh di atas rata-rata provinsi.

Kebiasaan ini tentu berdampak langsung pada pengeluaran rumah tangga. Dengan harga satu bungkus rokok isi 12 batang mencapai Rp25.000, seorang perokok di Karawang bisa menghabiskan Rp700.000 hingga Rp800.000 per bulan hanya untuk membeli rokok. Jumlah itu bahkan bisa lebih besar dari biaya makan keluarga selama beberapa hari.


“Konsumsi rokok yang tinggi tidak hanya berdampak pada kesehatan, tapi juga pada kesejahteraan ekonomi keluarga. Uang yang seharusnya bisa dialokasikan untuk pendidikan atau pangan, banyak tersedot untuk rokok,” jelas Darwis.


Ia menambahkan, data ini diharapkan dapat menjadi perhatian bagi pemerintah daerah, khususnya untuk memperkuat kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan kampanye edukasi tentang bahaya merokok.


Selain menekan ekonomi rumah tangga, tingginya konsumsi rokok juga memperbesar risiko penyakit tidak menular seperti kanker paru, jantung, dan stroke.


Darwis menekankan pentingnya pendekatan budaya dalam setiap kampanye pengendalian rokok. Menurutnya, peringatan bahaya kesehatan saja tidak cukup jika tidak disertai pemahaman terhadap kebiasaan dan gaya hidup masyarakat setempat.


“Kalau kita tahu konsumsi rokok tinggi di wilayah tertentu, intervensi kesehatan harus difokuskan ke sana. Kampanye antirokok harus menyentuh sisi sosial masyarakat, bukan sekadar larangan,” katanya.


Ia menutup dengan pesan reflektif: angka-angka yang tercatat dalam statistik bukan sekadar data, melainkan cerminan kebiasaan hidup masyarakat.


“Kalau perilaku tidak berubah, angka ini akan sulit turun. Karena pada akhirnya, data ini adalah potret kebiasaan kita sendiri,” ujar Darwis.


Kini, di tengah upaya pemerintah untuk menekan angka kemiskinan dan meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat, Karawang dan wilayah Pantura lainnya menghadapi tantangan serius, bagaimana mengubah kebiasaan yang sudah turun-temurun menjadi gaya hidup yang lebih sehat dan produktif. (Teguh Purwahandaka)