Praktisi hukum Karawang Dadi Mulyadi, S.H.


KARAWANG,- Polemik pajak MBLB di Karawang tak hanya berkutat pada persoalan prosedural, tetapi juga menyentuh ranah akademik dan substantif. Menurut praktisi hukum Karawang Dadi Mulyadi, S.H., pemerintah daerah belum memiliki dasar ilmiah yang kuat dalam menetapkan objek pajak, terutama terhadap jenis tanah urug yang menjadi sumber utama perdebatan.


Di balik hiruk-pikuk pemberitaan tentang penagihan pajak, ada satu persoalan mendasar yang jarang diulas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan MBLB. Dijelaskan Dadi, dalam berbagai peraturan daerah, istilah ini sering disebut, namun penjelasannya kabur. Tidak semua jenis material bisa digolongkan ke dalam MBLB, termasuk tanah urug yang biasa digunakan dalam pekerjaan konstruksi.


“Dalam Perda Nomor 17 Tahun 2023 dan Perbup 77 Tahun 2024, tidak ada penjelasan eksplisit tentang tanah urug sebagai bagian dari MBLB,” ungkap Dadi.


Menurutnya, pemerintah seharusnya menyertakan Surat Keputusan (SK) Bupati yang merinci daftar jenis mineral bukan logam dan batuan yang dikenakan pajak.


Lebih jauh, Dadi menjelaskan bahwa tanah urug pun memiliki banyak jenis, ada yang disebut tanah urug super, semu, dan boncos atau disposal, yaitu tanah sisa cut and fill dari pekerjaan industri. Masing-masing memiliki nilai ekonomi berbeda.


“Kalau semua disamakan tarifnya, tentu tidak adil. Ada yang bernilai tinggi, ada pula yang nyaris tidak memiliki nilai jual,” ujarnya.


Dadi menilai, ketidaktepatan dalam klasifikasi ini bisa menimbulkan efek domino. Bukan hanya merugikan pelaku usaha, tetapi juga bisa menurunkan kepatuhan pajak. “Ketika pajak tidak rasional, orang akan mencari cara untuk menghindar, dan itu berbahaya bagi fiskal daerah,” tegas Dadi. 


PAJAK MEMBUNUH USAHA

Pajak daerah seharusnya menjadi instrumen pemerataan ekonomi. Namun di Karawang, kebijakan pajak MBLB justru dinilai memberatkan dunia usaha. Tarif pajak 20% ditambah opsen 25% untuk provinsi dianggap terlalu tinggi dan berpotensi “membunuh usaha legal”.


Bagi Dadi Mulyadi, kebijakan fiskal seharusnya berpijak pada keseimbangan antara kebutuhan pendapatan daerah dan daya tahan pelaku usaha. “Kalau semua hanya diukur dari target PAD, tanpa melihat realitas pasar, itu bukan kebijakan, tapi pemaksaan,” ujarnya


Dijelaskan lebih lanjut, penerapan pajak sektor MBLB sebesar 20% untuk pendapatan daerah dan 25% opsen pajak provinsi adalah nilai maksimum pajak yang diatur didalam UU HKPD Nomor 1 tahun 2022. Menurut Dadi, Pemda memiliki hak otonomi untuk menentukan dan mengatur daerahnya sendiri. 


Masih kata Dadi, Pemda memiliki hak atribusi dalam membuat peraturan–peraturan tehnis sekelas Perda dan Perbup dengan kewenangan atribusi, maka Pemda dapat membuat kebijakan yang relevan berdasarkan kondisi sosial, politik, dan budaya yang ada di wilayahnya dengan tanpa mengurangi prinsif dasar dan substansi peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya. 


Ia mencontohkan, sektor tanah urug dan pengurugan di Karawang banyak bergerak di area industri, bukan tambang. Modal yang dikeluarkan besar, margin kecil, dan risiko tinggi. Jika pajak mencapai hampir separuh pendapatan kotor, maka yang terjadi bukan kontribusi ekonomi, melainkan kematian usaha.


“Pemerintah punya otonomi untuk menentukan tarif lebih rendah. Tidak ada kewajiban menyalin mentah-mentah tarif maksimum dari Undang-Undang HKPD,” tegasnya.


Dadi mengingatkan, Pemda seharusnya lebih dulu melakukan analisis kebijakan fiskal daerah dan mengundang partisipasi publik, termasuk asosiasi pengusaha, sebelum menetapkan tarif pajak.


"Dalam tinjauan kasus PT. VSM dan kondisi regulasi Bapenda Karawang terkini, seandainyapun Pemda menetapkan tarif MBLB dibawah 20% maka tidak jadi persoalan dan akibat hukum. Sebab, nilai jual tanah arug bekas cut and fill, tidak memiliki nilai ekonomis tinggi, namun Pemda menarif pajak maksimal. Pengusaha tidak ada untungnya malah buntung," pungkas Dadi. (Teguh Purwahandaka)