Tim Advokasi Karawang Selatan (Takarst) bersama para aktivis lingkungan menggelar konferensi pers di kantor LBH Cakra, Rabu sore (13/8/2025). 

KRIMINALISASI PEJUANG LINGKUNGAN

Jejak Panjang Perlawanan Warga Karawang Selatan Melawan Tambang Batu Kapur

KARAWANG,– Awan gelap menggantung di langit Karawang Selatan. Bukan hanya ancaman kerusakan lingkungan dari tambang batu kapur MPB yang membuat resah warga, tetapi juga jeratan hukum yang kini menimpa para tokoh pejuang lingkungan.

Nama Ujang Nurali, koordinator aksi penolakan tambang, menjadi sorotan setelah dipanggil ke Mabes Polri bersama seorang tokoh perempuan setempat. Keduanya dilaporkan oleh pihak perusahaan dengan tuduhan perusakan fasilitas saat demonstrasi April 2025. Aktivis menduga, langkah ini adalah bentuk kriminalisasi terhadap warga yang hanya menjalankan haknya menyuarakan pendapat.


AKAR KONFLIK 

Konflik ini bermula jauh sebelum aksi April lalu. Pada 16 Juli 2024, kelompok masyarakat Karawang Selatan mengajukan permohonan kepada Plt. Gubernur Jawa Barat untuk membatalkan IUP produksi MPB. Namun, 27 September 2024, jawaban resmi pemerintah provinsi menyatakan izin tambang sudah sesuai aturan.

Penolakan tak berhenti di situ. 30 Desember 2024, warga mendesak DPRD Karawang menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP). Pihak MPB dan Juishin tidak hadir, hanya Perhutani yang datang. Sebelumnya, 5 Februari 2024, warga bersam DPRD Karawang dan OPD terkait di Pemkab Karawang sudah mengeluarkan surat resmi menolak pertambangan tersebut.

Perlawanan masyarakat mendapat amunisi hukum yang kuat. Diantaranya memutuskan, Izin Lingkungan dibatalkan, Kasasi dimenangkan Pemda Karawang dan bahkan Peninjauan Kembali (PK) juga dimenangkan Pemda Karawang. MPB kalah di pengadilan,

Namun, kabar bahwa MPB tetap akan beroperasi melakukan penambangan memicu konsolidasi. Warga sepakat menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran.


TAMBANG DI KAWASAN LINDUNG

Penolakan warga bukan tanpa dasar. Lokasi tambang berada di kawasan lindung yang diatur dalam Perda No. 2 Tahun 2013 dan Perda No. 9 Tahun 2022 tentang Tata Ruang Jawa Barat.

Ujang Nurali menyebut, kawasan tersebut termasuk bentang alam karst, dilindungi Permen ESDM No. 26 Tahun 2012. Selain itu, terdapat tiga gua yang membentuk sungai bawah tanah dengan mata air permanen. Bahkan, habitat satwa liar, termasuk kera dan harimau, berada di area tambang.

"Kalau ini rusak, bukan hanya Karawang yang kena dampaknya, tapi pasokan air untuk jutaan orang," kata Ujang. 


DUGAAN KRIMINALISASI

Aksi April 2025 berjalan tertib, menurut panitia. Mereka menegaskan tidak pernah memerintahkan pembakaran ban atau perusakan fasilitas. Namun, perusahaan melaporkan dugaan pengerusakan terhadap pos sekuriti dan gerbang yang berdiri di tanah sepadan sungai.

Fakta mengejutkan muncul saat tim advokasi menelusuri ke Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) SDA. Secara lisan, kata Ujang, BBWS mengaku bangunan pos keamanan dan pintu gerbang di dekat jembatan Juishin tidak memiliki rekomendasi teknis, dan patut diduga tidak mengantongi izin PUPR, sehingga tergolong bangunan liar. Jembatan yang dibangun Juishin, juga diduga kuat tidak berizin. 

Meski nilai kerugian disebut di bawah Rp5 juta, kasus ini justru ditangani langsung Mabes Polri. "Ini indikasi teror dan pembungkaman," kata Dadi Mulyadi, Tim Advokasi Karawang Selatan (Takarst)


SERUAN PERLAWANAN

Bagi warga Karawang Selatan, panggilan polisi tidak akan mematahkan tekad. “Satu orang dikriminalisasi, ribuan akan bangkit,” ujar Dadi. Mereka mendesak, pemerintah pusat dan daerah mencabut izin operasional MPB dan Juishin. Aparat penegak hukum menghentikan kriminalisasi pejuang lingkungan. Semua elemen bersatu mempertahankan kawasan lindung.

Kasus ini kini memasuki tahap penyelidikan. Sementara itu, rencana warga untuk menggugat balik perusahaan sedang disiapkan. Di tengah hiruk pikuk hukum, kawasan karst Karawang Selatan tetap menjadi penyangga kehidupan, dan medan pertempuran antara industri tambang dan mereka yang mempertahankan kelestarian alam. (TEGUH PURWAHANDAKA)