Bupati Karawang, Aep Saepuloh mengantar pimpinan MPR RI ke rumah bersejarah lahirnya Republik Indonesia, di Rengasdengklok, Karawang. 

KARAWANG,– Di tepi jalan kecil di Rengasdengklok, Karawang, berdiri sebuah rumah tua bercat putih dengan atap genteng merah. Bagi sebagian orang, rumah ini hanyalah bangunan sederhana. Tetapi bagi sejarah Indonesia, inilah saksi bisu peristiwa penting menjelang Proklamasi Kemerdekaan, rumah milik keluarga Djiauw Kie Siong, tempat Bung Karno dan Bung Hatta “diamankan” untuk memastikan kemerdekaan tak lagi ditunda.

Sudah puluhan tahun rumah ini dijaga oleh keturunan Djiauw Kie Siong. Mereka merawatnya dengan penuh rasa hormat, meski tanpa dukungan berarti dari pemerintah. Catnya mulai memudar, beberapa bagian kayu berkeriut dimakan usia, dan perawatannya bergantung pada sumbangan sukarela dari kotak amal pengunjung.

Janji demi janji pernah datang. Pemerintah daerah, kementerian, bahkan pejabat pusat pernah berbicara tentang pentingnya rumah ini. Beberapa kali muncul wacana untuk menjadikannya aset negara, membangun fasilitas penunjang, hingga mengubahnya menjadi destinasi wisata sejarah nasional. Namun semua itu berhenti di meja pembicaraan.

Janji terakhir datang pada Kamis 13 Agustus 2025 kemarin, ketika Ketua MPR RI Ahmad Muzani berkunjung ke rumah tersebut. Di hadapan wartawan dan keluarga pemilik, ia berjanji akan menyampaikan kepada Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Kebudayaan. Muzani menyebut rumah ini harus dikembangkan menjadi pusat edukasi sejarah agar generasi muda bisa merasakan langsung aura perjuangan kemerdekaan.

“Kami akan teruskan ke Presiden dan Menteri Kebudayaan. Tempat ini terlalu penting untuk dibiarkan begini saja,” ujarnya.

Namun bagi warga Rengasdengklok, janji semacam ini bukan hal baru. Mereka sudah mendengar ucapan serupa sejak puluhan tahun lalu. Nyatanya, sampai hari ini rumah itu tetap milik pribadi, perawatannya dilakukan secara swadaya, dan pengunjung masih datang tanpa ada tata kelola resmi dari negara.

Di balik cerita besar perjuangan kemerdekaan, ada ironi yang menggantung, sebuah rumah yang menjadi bagian dari detik-detik lahirnya Republik justru belum sepenuhnya dipeluk oleh negara yang ia ikut lahirkan.

Selama janji hanya menjadi janji, Rumah Rengasdengklok akan tetap bertahan dengan segala keterbatasannya, menunggu saat di mana kata-kata berubah menjadi tindakan. (Teguh Purwahandaka)