KARAWANG,– Upaya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Karawang meredam eskalasi aksi massa lewat deklarasi damai yang digelar di Plaza Pemkab, Minggu (31/8), memunculkan pertanyaan publik. Pasalnya, meski menghadirkan berbagai elemen Forkopimda, tokoh agama, organisasi masyarakat, dan rektor universitas, namun sejumlah pihak kunci seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) universitas di Karawang dan Organisasi Mahasiswa (Ormawa) di Karawang tidak terlihat hadir menandatangani naskah deklarasi damai. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang efektivitas deklarasi tersebut apakah akan berhasil meredakan ketegangan sosial yang dalam beberapa hari terakhir terus menguat.
Bupati Karawang, Aep Syaepuloh mengatakan, deklarasi damai yang dilaksanakan merupakan bentuk ikhtiar demi kondusifitas Karawang. Aep menekankan, pentingnya komitmen bersama untuk menjaga Karawang tetap kondusif. Menurutnya, aspirasi masyarakat harus disalurkan secara bermartabat agar tidak mengorbankan ketertiban umum.
“Kami meminta warga masyarakat jaga kondusifitas. Karawang adalah rumah kita bersama, dan harua kita jaga bersama-sama. Sebentar lagi Karawang akan berulang tahun tanggal 14 September, Mari jaga Karawang," kata Bupati Aep.
Berdasarkan pantauan, nampak hadir Ketua DPRD Karawang, para Ketua Fraksi DPRD Karawang, Dandim, Kapolres, Kajari, Danyonif, Subdenpom, Kemenag, FKUB, MUI, NU, Muhamadiyah, Persis, Karangtaruna, KNPI, dan Rektor Universitas di Karawang.
Absennya BEM dari universitas-universitas di Karawang, juga organisasi mahasiswa seperti HMI, PMII dan GMNI menjadi catatan tersendiri. Pasalnya, kelompok mahasiswa ini merupakan motor utama dalam aksi-aksi yang beberapa hari terakhir mengguncang Karawang. Kehadiran mereka dalam forum ini diharapkan dapat menjadi jembatan komunikasi, namun absensi tersebut memunculkan tanda tanya apakah deklarasi damai mampu meredam potensi eskalasi berikutnya.
Pengamat sosial menilai langkah deklarasi ini merupakan sinyal positif, namun tidak cukup tanpa tindak lanjut yang konkret. “Deklarasi ini penting sebagai simbol, tapi tanpa kehadiran pihak-pihak kunci, ia berpotensi hanya jadi formalitas. Pemerintah perlu membuka dialog yang lebih intensif, bukan sekadar seremonial,” ujar salah seorang pengamat yang enggan disebut namanya. (Teguh Purwahandaka)