KARAWANG, — Dampak dari aksi demonstrasi menolak aktivitas tambang PT Mas Putih Belitung (PT MPB) pada 17 April 2025 lalu kini berujung pemanggilan hukum. Kepala Desa Tamansari, Ai Ratna Ningsih, bersama sejumlah aktivis lingkungan di Karawang, dipanggil penyidik Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.
Pemanggilan tersebut tertuang dalam surat undangan klarifikasi bernomor B/3860/VII/Res.1.10/2025/Dirtipidum tertanggal 22 Juli 2025. Dalam surat tersebut, penyidik Unit IV Subdit III Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim menyelidiki dugaan tindak pidana pengerusakan sebagaimana diatur dalam Pasal 170 KUHP dan/atau Pasal 406 KUHP.
Salah satu yang dipanggil adalah Ujang Nur Ali, warga Desa Tamansari yang tinggal di sekitar Goa Dayeuh, wilayah yang termasuk dalam Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) Pangkalan. Saat dikonfirmasi pada 30 Juli, Ujang menyatakan tengah dalam perjalanan menuju Bareskrim untuk memenuhi undangan tersebut.
Aksi demonstrasi yang dipicu penolakan terhadap terbitnya Izin Usaha Pertambangan (IUP) oleh Plt Gubernur Jawa Barat, Bey Mahmudin, untuk PT MPB berujung ricuh. Sejumlah fasilitas milik PT Jiushin Indonesia (PT JSI) di Desa Tamansari mengalami kerusakan, termasuk pos satpam yang terbakar akibat api dari ban yang dibakar pendemo di depan gerbang pabrik.
PT MPB, anak perusahaan PT JSI, mendapat izin menambang batu gamping di wilayah Karst Pangkalan. Batu gamping itu direncanakan menjadi bahan baku produksi Semen Garuda yang diproduksi PT JSI.
Solihin Fu’adi, aktivis lingkungan dari Karawang Selatan, menilai pemanggilan tersebut merupakan bentuk kriminalisasi terhadap gerakan masyarakat yang menolak tambang di kawasan lindung. Ia menyebut kawasan Karst Pangkalan memiliki nilai keanekaragaman hayati tinggi dan mengandung sistem sungai bawah tanah, sehingga tidak layak untuk ditambang.
“Sebelum aksi dilakukan, kami sudah menyampaikan pemberitahuan ke Polres Karawang. Bahkan, pos satpam yang terbakar itu dibangun di sempadan sungai, yang notabene melanggar aturan,” ujar Solihin.
Ia menduga pemanggilan ini sebagai bentuk tekanan terhadap masyarakat agar menghentikan penolakan terhadap proyek pertambangan di kawasan karst. “Setiap PT MPB hendak beroperasi, selalu ada aksi protes dari warga. Aksi kemarin terjadi karena pihak perusahaan menolak berdialog dengan massa,” tambahnya.
Terkait kerusakan fasilitas, Solihin menilai insiden tersebut tak sebanding dengan dampak lingkungan dan sosial yang ditimbulkan oleh kegiatan pertambangan.
"Kalau kriminalisasi ini terus berjalan, kami akan menyerukan boikot terhadap produk PT JSI, termasuk Semen Garuda. Kami juga akan menutup akses jalan Badami-Loji untuk angkutan mereka, karena truk PT JSI kerap melanggar batas tonase dan memperparah kerusakan jalan,” tegasnya. (Tgh)